FLP Pasuruan (Berbakti, Berkarya, Berarti)

Kiamat di Negeri Tuhan

Wednesday, February 12, 20140 comments

Kiamat di Negeri Tuhan*)
Oleh: Arul Chairullah

Gubuk bambu itu jauh terdampar dari pagar perkampungan. Alang-alang sawah di sekitarnya saling bergesekan, menimbulkan siulan alam, membuat temaram malam menjelang gelap seperti jelmaan ayat Tuhan akan kedamaian mayapada, menjadikannya sebagai muara inspirasi syair pujangga cinta, jika ayat Tuhan dan inspirasi cinta masih ada – sayangnya, sebagian penduduk negeri ini lebih banyak menganggap Tuhan sebagai mainan. Mempermainkan Tuhan menjadi keseharian. Suka bermain-main dengan Tuhan. Tuhan jadi teman sepermainan. Kehilangan rasa segan dan hormat lagi. Tuhan tak lebih jadi permainan akhirnya. Hingga muncul sebuah tanya, kapankah Tuhan sungguh-sungguh bertahta di atas negeri ini? Lebih dari itu, kembali bertahta di dalam nurani ini.
"Sudahlah, aku angkat tangan."
Ucapnya lemas sesaat setelah mendengar berita banjir bandang melanda wilayah barat laut negerinya. (gak boleh ganti paragraph)
Tak terpungkiri, sejak dekade terakhir bencana demi musibah datang silih berganti. Badai tsunami, kebakaran hutan, polusi udara, gempa bumi, tanah longsor, korupsi, maling, kawin kontrak, zina, selingkuh, orasi ompong, dagelan politik, sembako naik, busung lapar, perang suku dan gontokan antar agama atau mengatas namakan kebenaran (lebih diringkas). Di Negeri Tuhan ini kurasakan kegelapan dan perasaan menyatu. Kalau aku tidak keliru.
"Apalah artinya diriku dibanding seantero kerusakan yang menggenang di negeri ini," dia menggendong kening dengan ibu jarinya, "aku pasrah, Tuhan."
"Mengapa kamu begitu pasrah?"
"Tak kah kau melihat, betapa mirisnya negeri kita?! Para penguasa berlomba membeli citra agar periode selanjutnya mereka mendapatkan jatah kursi kekuasaan. Undang-undang didesain untuk memuaskan hasrat liar. Sementara itu, rakyat Negeri Tuhan pun terlena, asal ada sumbangan menjelang pemilihan, mereka lebih rela memilih penguasa hidung belang,(harusnya titik) belang menjarah uang rakyat, belang menjajan daging di balik pantulan lampu kota pada jendela hotel berbintang."
Sembari menyeruput cangkir Cappucino berwarna cokelat, dari bilik anyaman bambu gubuknya aku menikmati obrolannya bersama semburat bintang yang tenggelam dalam keremangan jejak jingga dari gradasi langit. (kalau bicara gografi, jingga kondisi masih ada matahari)
Dia masih menonton televisi. Kali ini, tentang kisah dramatis kehidupan jalanan. Anak-anak kecil yang terlahir oleh rahim kemiskinan, yang jika sepotong bulan tiba, mereka tidur telanjang dalam lobang gorong-gorong setelah menyingkirkan tutup besinya. Gelap, suram dan berbau bacin. (benar, bukan basin)
Anak-anak kecil yang manis, rambutnya keriting, matanya sipit, hidungnya bangir, mulutnya mungil dengan tubuh yang berlumur lumpur kering. Semakin hari kian banyak bermunculan lobang gorong-gorong di penjuru kota. Barang kali mereka telah nyaman ada di sana, tidak bisa dihapuskan atau dilenyapkan.
Di sisi kanan dan kiri jalanan, muncul satu, dua sampai tiga anak yang menjulurkan tangan dengan menghiba-hiba, sedangkan yang lain menepuk-nepuk kerecekan dengan mulut mangap-mangap tak jelas menyanyikan apa. Namun, sebagian lirik lagunya terdengar lirih tertimbun kebisingan kota. Dan ternyata, nyanyian mereka merupakan rentetan gubahan syair sastrawan kebanggaan Negeri Tuhan.
Langit akhlak telah roboh di atas negeri
Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri
Karena hukum tak tegak, semua jadi begini
Negeriku sesak adegan tipu-menipu
Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku
Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku
Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku
Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku
Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku **)
Sorotan mata mereka seakan menembus kaca televisi, menatap kami berdua, seperti bertanya: 'Kemiskinan macam apakah kiranya yang tiada mungkin tertolong lagi dan kekayaan macam apakah kiranya yang tak pernah mengubah kemiskinan itu?'
Tak lama berselang, istrinya datang menating secawan poci (dua benda yang berbeda) berisikan Cappucino, aroma susu dan cokelatnya menggoda selera. Sedari dulu, kami berdua hobi menyeduh kopi tradisional Italia itu, tentunya sembari menjemput senja, bukan kemerah-merahan senja melainkan yang remang menjelang malam.
Dihidangkan pula sepiring kue sengkulung, campuran gula merah serta taburan kelapa parut memperindah motif bentuknya.
"Entah mengapa, aku ikut pusing dengan Negeri Tuhan. Ajaran-Nya jadi membingungkan. Yang dulunya sederhana dan mudah dicerna oleh rakyat awam sepertiku, sekarang mungkin karena saking mudahnya sampai-sampai menghalalkan keharaman, memuaskan nafsu birahi, bahkan pertumpahan darah diatasnamakan ajaran Tuhan," sela istrinya setelah menuangkan kopi untuk cangkir suaminya.
Aku menambahkan gula pasir pada cangkir kopi, mengaduk, lalu mencucupnya. O, nikmatnya!
"Kawan," kataku sejurus kemudian, "Negeri Tuhan sangatlah rentan pecah jikalau kita justru tersibukkan dengan strata perbedaan. Sungguh, kebhineka tunggal ika-an kita sedang diuji coba. "
"Maksudmu?" Ucap istrinya bingung.
"Semua jenis ajaran Tuhan dan manusia terbaik ada di negeri ini, mulai ajaran langit-bumi, palsu-asli, gembel-ningrat, hitam-langsat, muda-lansia, cowok-cewek, mancung-pesek, mulya-brengsek. Perbedaan mencolok tadi berpotensi menimbulkan perpecahan kedaulatan Negeri Tuhan. Oleh karena itulah, diperlukan suatu pedoman yang mampu mempersatukan pelbagai elemen tersebut."
"Terus?" Susul istrinya lagi.
"Lahirlah lima asas fundamental dari Negeri Tuhan ini."
"Apa itu?" Suaminya menyahut.
"Astaga! Kamu tak tahu?!" Kataku sambil menepuk jidat, "Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan negeri, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat."
"Entahlah apa istilahmu, jelasnya penghuni Negeri Tuhan tak peduli dengan hal itu. Lima asas tadi hanya berupa tulisan yang dipigura cantik, dipajang di depan kelas, atau sekedar diucapkan seminggu sekali, itupun saat upacara bendera. Tak lebih dari itu!"
"Betul sekali, bahkan sebagian manusianya jangankan mengamalkan, hafal saja ogah, padahal itu tendensi Negeri Tuhan," istrinya menyambut gayung.
"Itu karena Tuhan di negeri ini telah digusur!"
"Hah?!"
Pasutri itu terperanjat kaget.
"Yah, tergusur oleh materi yang dipertuhankan, oleh nafsu yang menderu-deru di balik rusuk dada, oleh manusia yang sibuk 'men-Tuhan-kan' dirinya, sampai-sampai mereka lantang mempermainkan Tuhan."
"Benarkah?!” Istrinya nampak gelisah, “lantas apakah akan Tuhan marah? Geram? Atau murka?"
"Entahlah," desahku lirih, "yang pasti, sepertinya semesta sudah enggan bersahabat dengan…."
Bbbbbrrrrrrmmm...
Ucapanku terputus saat bumi tiba-tiba berguncang.
Bilik anyaman bambu bergentar hebat, rontokan tanah yang berasal dari atap daun rumbia menghujani kami bertiga, sehingga mengumalkan hitam rambut dengan kepulan debu.
"Gusti... gusti... kiamaaaaattt, Gustii!" Teriak istrinya kacau.
Terjadi gempa bumi. Meski frekuensi getaran yang ditimbulkannya lemah, namun setidaknya mampu menyengetkan lambang burung raksasa beserta dua foto penguasa Negeri Tuhan yang berada di sampingnya.
Tak lama berselang, reaksi gempa hilang.
"Kiamaaaattt," pekiknya keras sambil menutup wajah dengan kedua tangan.
"Hhhuussss, (pakai tanda seru) kiamat opo seh!" Suaminya menepuk paha sang istri, "lagian mana ada kiamat di negeri ini, negeri-nya Tuhan," lanjutnya.
"Kenapa tidak?" Tukasku.
"Loh, memang harusnya tidak! Bukan kah ini Negeri Tuhan?"
"Justru itulah Tuhan berhak mengakhiri segalanya tanpa perlu persetujuan siapa pun, termasuk negeri-Nya. Apalagi sekarang penduduk Negeri Tuhan semakin kurang ajar!"
"Tapi, bukankah ini adalah negeri paling ber-Tuhan? Semua ajaran terbaik ada di seluruh penjuru negeri. Setiap harinya, ribuan penduduknya berzikir dan berdoa dengan caranya masing-masing. Seharusnya negeri ini mendapatkan berkah melimpah dari Tuhan, bukannya malah ancaman kiamat," tukas suaminya sengit.
"Seharusnya, tapi realitanya bagaimana?"
"Kenyataannya...," kalimatnya tak berlanjut.
"Karena Tuhan lebih banyak dianggap mainan, sehingga hilanglah rasa takzim dan patuh, nafsu iblis menaklukkan nurani yang kemudian dengan tega menggusur Tuhan dari negeri ini. Lantas, salahkah bilamana Tuhan murka? Berdosakah semesta jika memusuhi kita? Sepertinya tidak, Kawan!"
"Termasuk kiamat?"
"Itu bukanlah perkara mustahil terjadi di Negeri Tuhan."
"O Tuhan, selamatkan kami," rintih istrinya.
"Duh Gusti, ampunilah kealpaan kami," susul suaminya.
“Apa yang harus kita lakukan? Apa?!” Sang istri panik.
Suaminya pun ikut gelisah.
Sementara suami-istri tadi terhanyut kebingungan, kupalingkan wajahku menyapa silir-semilir angin malam yang menghampiriku lewat daun jendela.
Tak bisa kubayangkan bagaimana kondisi negeri impian saat hari kiamat tiba. Andai saja penduduk negeri ini tidak saling memangku tangan, dan mau memperbaiki diri mereka sebagai panutan, siapa tahu hal tersebut bisa mengubah keluarga, negara bahkan seantero dunia.
Namun tentunya, hari kehancuran itu pasti datang, pintu penyesalan yang telah lama terbuka akan menutup rapat. Aku sedang menuju hari menakutkan itu, yang tentunya penduduk negeri ini akan tahu bahwa Tuhan tidak selayaknya dijadikan mainan. Tentunya, tentu, dan aku memang belum mengalaminya – tentunya aku melaju ke hari pembalasan, bersamaan dengan dibangkitkannya kembali orang yang telah meninggal untuk diadili perbuatannya.
Malam ini, bulan menyembul dari balik awan gemawan berwarna kelabu yang memayungi telaga ombak-ombakan, kalau aku tidak terlambat aku ingin bermunajat.
"Bila kiamat-Mu tiba, panggillah aku sebagai hamba yang berbakti."
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
*) Setelah menghayati Indonesia selama tiga bulan terakhir bersama puisi berjudul "Negeri Tuhan Jadi Mainan", karya: Katredrarajawen. Terutama setelah mendengar rencana penghapusan ”Agama” dari Kartu Tanda Penduduk. Sungguh miris negeriku!
**) Penggalan puisi legendaris "Ketika Burung Merpati Sore Melayang", karya Taufik Ismail.

Arul Chairullah: Alumnus Fakultas Syareat Univ. Ahgaff, Yaman, Aktifis FLP Pasuruan dan Juara I Bilik Sastra Award 2013, VOI-RRI.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. FLP PASURUAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger