Kiamat di Negeri
Tuhan*)
Oleh: Arul Chairullah
Gubuk
bambu itu jauh terdampar dari pagar perkampungan. Alang-alang sawah di
sekitarnya saling bergesekan, menimbulkan siulan alam, membuat temaram malam
menjelang gelap seperti jelmaan ayat Tuhan akan kedamaian mayapada,
menjadikannya sebagai muara inspirasi syair pujangga cinta, jika ayat Tuhan dan
inspirasi cinta masih ada – sayangnya, sebagian penduduk negeri ini lebih
banyak menganggap Tuhan sebagai mainan. Mempermainkan Tuhan menjadi
keseharian. Suka bermain-main dengan Tuhan. Tuhan jadi teman sepermainan.
Kehilangan rasa segan dan hormat lagi. Tuhan tak lebih jadi permainan akhirnya.
Hingga muncul sebuah tanya, kapankah Tuhan sungguh-sungguh bertahta di atas
negeri ini? Lebih dari itu, kembali bertahta di dalam nurani ini.
"Sudahlah,
aku angkat tangan."
Ucapnya lemas sesaat setelah mendengar
berita banjir bandang melanda wilayah barat laut negerinya. (gak boleh ganti
paragraph)
Tak
terpungkiri, sejak dekade terakhir bencana demi musibah datang silih berganti.
Badai tsunami,
kebakaran hutan, polusi udara, gempa bumi, tanah longsor, korupsi, maling,
kawin kontrak, zina,
selingkuh, orasi ompong, dagelan politik, sembako naik, busung
lapar, perang suku dan gontokan antar agama atau mengatas namakan kebenaran (lebih diringkas). Di Negeri Tuhan ini kurasakan kegelapan
dan perasaan menyatu. Kalau aku tidak keliru.
"Apalah
artinya diriku dibanding seantero kerusakan yang menggenang di negeri
ini," dia menggendong kening dengan ibu jarinya, "aku
pasrah, Tuhan."
"Mengapa
kamu begitu pasrah?"
"Tak
kah kau melihat, betapa mirisnya negeri kita?! Para penguasa berlomba membeli
citra agar periode selanjutnya mereka mendapatkan jatah kursi kekuasaan.
Undang-undang didesain untuk memuaskan hasrat liar. Sementara itu, rakyat Negeri
Tuhan pun terlena, asal ada sumbangan menjelang pemilihan, mereka lebih rela
memilih penguasa hidung belang,(harusnya titik)
belang menjarah uang rakyat, belang menjajan daging di balik pantulan lampu
kota pada jendela hotel berbintang."
Sembari
menyeruput cangkir
Cappucino berwarna cokelat, dari bilik anyaman bambu
gubuknya aku menikmati obrolannya bersama semburat bintang yang tenggelam dalam
keremangan jejak jingga dari gradasi langit. (kalau bicara gografi, jingga kondisi masih ada
matahari)
Dia
masih menonton televisi. Kali ini, tentang kisah dramatis kehidupan jalanan.
Anak-anak kecil yang terlahir oleh rahim kemiskinan, yang jika sepotong bulan
tiba, mereka tidur telanjang dalam lobang gorong-gorong setelah menyingkirkan
tutup besinya. Gelap, suram dan berbau bacin. (benar, bukan basin)
Anak-anak
kecil yang manis, rambutnya keriting, matanya sipit, hidungnya bangir, mulutnya
mungil dengan tubuh yang berlumur lumpur kering. Semakin hari kian banyak
bermunculan lobang gorong-gorong di penjuru kota. Barang kali mereka telah
nyaman ada di sana, tidak bisa dihapuskan atau dilenyapkan.
Di
sisi kanan dan kiri jalanan, muncul satu, dua sampai tiga anak yang menjulurkan
tangan dengan menghiba-hiba,
sedangkan yang lain menepuk-nepuk kerecekan dengan mulut mangap-mangap tak jelas
menyanyikan apa. Namun, sebagian lirik lagunya terdengar lirih tertimbun
kebisingan kota. Dan ternyata, nyanyian mereka merupakan rentetan gubahan syair
sastrawan kebanggaan Negeri Tuhan.
Langit
akhlak telah roboh di atas negeri
Karena
akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri
Karena
hukum tak tegak, semua jadi begini
Negeriku
sesak adegan tipu-menipu
Bergerak
ke kiri, dengan maling kebentur aku
Bergerak
ke kanan, dengan perampok ketabrak aku
Bergerak
ke belakang, dengan pencopet kesandung aku
Bergerak
ke depan, dengan penipu ketanggor aku
Bergerak
ke atas, di kaki pemeras tergilas aku **)
Sorotan
mata mereka seakan menembus kaca televisi, menatap kami berdua, seperti bertanya:
'Kemiskinan macam apakah kiranya yang tiada mungkin tertolong lagi dan kekayaan
macam apakah kiranya yang tak pernah mengubah kemiskinan itu?'
Tak
lama berselang, istrinya datang menating secawan poci (dua benda
yang berbeda) berisikan Cappucino, aroma susu dan cokelatnya menggoda
selera. Sedari dulu, kami berdua hobi menyeduh kopi tradisional Italia itu,
tentunya sembari menjemput senja, bukan kemerah-merahan senja melainkan yang
remang menjelang malam.
Dihidangkan
pula sepiring kue sengkulung, campuran gula merah serta taburan kelapa parut
memperindah motif bentuknya.
"Entah
mengapa, aku ikut pusing dengan Negeri Tuhan. Ajaran-Nya jadi membingungkan.
Yang dulunya sederhana dan mudah dicerna oleh rakyat awam sepertiku, sekarang mungkin
karena saking mudahnya sampai-sampai menghalalkan keharaman, memuaskan nafsu
birahi, bahkan pertumpahan darah diatasnamakan ajaran Tuhan," sela
istrinya setelah menuangkan kopi untuk cangkir suaminya.
Aku
menambahkan gula pasir pada cangkir kopi, mengaduk, lalu mencucupnya. O,
nikmatnya!
"Kawan,"
kataku sejurus kemudian, "Negeri Tuhan sangatlah rentan pecah jikalau kita
justru tersibukkan dengan strata perbedaan. Sungguh, kebhineka tunggal ika-an
kita sedang diuji coba. "
"Maksudmu?"
Ucap istrinya bingung.
"Semua
jenis ajaran Tuhan dan manusia terbaik ada di negeri ini, mulai ajaran langit-bumi,
palsu-asli, gembel-ningrat, hitam-langsat, muda-lansia, cowok-cewek,
mancung-pesek, mulya-brengsek.
Perbedaan mencolok tadi berpotensi menimbulkan perpecahan kedaulatan Negeri
Tuhan. Oleh karena itulah, diperlukan suatu pedoman yang mampu mempersatukan
pelbagai elemen tersebut."
"Terus?"
Susul istrinya lagi.
"Lahirlah
lima asas fundamental dari Negeri Tuhan ini."
"Apa
itu?" Suaminya menyahut.
"Astaga!
Kamu tak tahu?!" Kataku sambil menepuk
jidat, "Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan negeri, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam
permusyawaratan perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat."
"Entahlah
apa istilahmu, jelasnya penghuni Negeri Tuhan tak peduli dengan hal itu. Lima
asas tadi hanya berupa tulisan yang dipigura cantik, dipajang di depan kelas,
atau sekedar diucapkan seminggu sekali, itupun saat upacara bendera. Tak lebih
dari itu!"
"Betul
sekali, bahkan sebagian manusianya jangankan mengamalkan, hafal saja ogah,
padahal itu tendensi Negeri Tuhan," istrinya menyambut gayung.
"Itu
karena Tuhan di negeri ini telah digusur!"
"Hah?!"
Pasutri
itu terperanjat kaget.
"Yah,
tergusur oleh materi yang dipertuhankan, oleh nafsu yang menderu-deru di balik
rusuk dada, oleh manusia yang sibuk 'men-Tuhan-kan' dirinya, sampai-sampai
mereka lantang mempermainkan Tuhan."
"Benarkah?!”
Istrinya nampak gelisah, “lantas apakah akan Tuhan marah? Geram? Atau murka?"
"Entahlah,"
desahku lirih, "yang pasti, sepertinya semesta sudah enggan bersahabat
dengan…."
Bbbbbrrrrrrmmm...
Ucapanku
terputus saat bumi tiba-tiba berguncang.
Bilik
anyaman bambu bergentar hebat, rontokan tanah yang berasal dari atap daun
rumbia menghujani kami bertiga, sehingga mengumalkan hitam rambut dengan
kepulan debu.
"Gusti...
gusti... kiamaaaaattt, Gustii!" Teriak istrinya kacau.
Terjadi
gempa bumi. Meski frekuensi getaran yang ditimbulkannya lemah, namun setidaknya
mampu menyengetkan lambang burung raksasa beserta dua foto penguasa Negeri
Tuhan yang berada di sampingnya.
Tak
lama berselang, reaksi gempa hilang.
"Kiamaaaattt,"
pekiknya keras sambil menutup wajah dengan kedua tangan.
"Hhhuussss, (pakai tanda seru) kiamat
opo seh!" Suaminya menepuk paha sang istri, "lagian mana ada
kiamat di negeri ini, negeri-nya Tuhan," lanjutnya.
"Kenapa
tidak?" Tukasku.
"Loh,
memang harusnya tidak! Bukan kah ini Negeri Tuhan?"
"Justru
itulah Tuhan berhak mengakhiri segalanya tanpa perlu persetujuan siapa pun,
termasuk negeri-Nya. Apalagi sekarang penduduk Negeri Tuhan semakin kurang
ajar!"
"Tapi,
bukankah ini adalah negeri paling ber-Tuhan? Semua ajaran terbaik ada di
seluruh penjuru negeri. Setiap harinya, ribuan penduduknya berzikir dan berdoa
dengan caranya masing-masing. Seharusnya negeri ini mendapatkan berkah melimpah
dari Tuhan, bukannya malah ancaman kiamat," tukas suaminya sengit.
"Seharusnya,
tapi realitanya bagaimana?"
"Kenyataannya...,"
kalimatnya tak berlanjut.
"Karena
Tuhan lebih banyak dianggap mainan, sehingga hilanglah rasa takzim dan patuh,
nafsu iblis menaklukkan nurani yang kemudian dengan tega menggusur Tuhan dari
negeri ini. Lantas, salahkah bilamana Tuhan murka? Berdosakah semesta jika
memusuhi kita? Sepertinya tidak, Kawan!"
"Termasuk
kiamat?"
"Itu
bukanlah perkara mustahil terjadi di Negeri Tuhan."
"O Tuhan, selamatkan kami," rintih istrinya.
"Duh
Gusti, ampunilah kealpaan kami," susul suaminya.
“Apa
yang harus kita lakukan? Apa?!” Sang istri panik.
Suaminya
pun ikut gelisah.
Sementara
suami-istri tadi terhanyut kebingungan, kupalingkan wajahku menyapa
silir-semilir angin malam yang menghampiriku lewat daun jendela.
Tak
bisa kubayangkan bagaimana kondisi negeri impian saat hari kiamat tiba. Andai
saja penduduk negeri ini tidak saling memangku tangan, dan mau memperbaiki diri
mereka sebagai panutan, siapa tahu hal tersebut bisa mengubah keluarga, negara
bahkan seantero dunia.
Namun
tentunya, hari kehancuran itu pasti datang, pintu penyesalan yang telah lama
terbuka akan menutup rapat. Aku sedang menuju hari menakutkan itu, yang
tentunya penduduk negeri ini akan tahu bahwa Tuhan tidak selayaknya dijadikan
mainan. Tentunya, tentu, dan aku memang belum mengalaminya – tentunya aku
melaju ke hari pembalasan, bersamaan dengan dibangkitkannya kembali orang yang
telah meninggal untuk diadili perbuatannya.
Malam
ini, bulan menyembul dari balik awan gemawan berwarna kelabu yang memayungi
telaga ombak-ombakan, kalau aku tidak terlambat aku ingin bermunajat.
"Bila
kiamat-Mu tiba, panggillah aku sebagai hamba yang berbakti."
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
_ _ _ _ _
*) Setelah menghayati Indonesia
selama tiga bulan terakhir bersama puisi berjudul "Negeri Tuhan Jadi
Mainan", karya: Katredrarajawen. Terutama setelah mendengar rencana
penghapusan ”Agama” dari Kartu Tanda Penduduk. Sungguh miris negeriku!
**) Penggalan puisi
legendaris "Ketika Burung Merpati Sore Melayang", karya Taufik
Ismail.
Arul Chairullah: Alumnus
Fakultas Syareat Univ. Ahgaff, Yaman, Aktifis FLP Pasuruan dan Juara I Bilik
Sastra Award 2013, VOI-RRI.
Post a Comment