Oleh
: Halimatus Sakdeyah
Semburat warna jingga menghiasi atap
langit. Semilir angin senja menari-nari di pelupuk mata. Membius setiap mata
untuk segera terlelap. Burung-burung terpacu mengepakkan sayap menuju ke peraduannya.
Tidak peduli dengan riuhnya jalanan yang mulai padat. Lalu lintas penuh dengan
mobil, motor, dan kendaraan umum.Tidak kurang-kurang,jeritan klakson yang
saling bersautantak mau mengalah. Betapa kontras antara langit dan bumikala
senja.
Pada perbatasan antara langit dan bumi, terlihat
seorang gadis yang duduk termangu di atapgedung. Rambut panjangnya yang lurus terhempas
angin senja. Tubuhnyatinggi semampai, dibalut wajah keruh dan lusuh. Pandangannya
lurus nan kosong, seakan tidak ada titik fokus yang menjadi pusat perhatiannya.
Sejurus kemudian, kedua matanya tertunduk. Mengamati apapun yang ada di bawah
kakinya. Ia melihat lalu-lalang kendaraan yang melintas tepat di bawah kakinya.Gedung
ini cukup tinggi, desirnya.
Seirama dengan kepalanya yang tertunduk,
kedua mata itu telah dipenuhi buliran bening.Semakin lama semakin deras, disusul
isak yang sulit diterjemahkan. Siapa yang mengira, buliran bening itu berasal
dari sepatah kata dokter sebulan yang lalu.
“Sudah stadium lanjut, kemungkinan sisa
waktu hanya 2 bulan.” Kata seorang dokter yang menangani gadis itu. Dan siapa
yang tahu, percakapan itu adalah awal dari keputusasaan yang berlarut-larut. Baginya,
tak ada lagi hangatnya mentari pagi, harumnya bunga Seruni, lezatnya buah
Durian, dan merdunya kicauan burung Perenjak. Yang ada gumpalan mendung, anyir
darah yang membeku, dan rintihan hati. Segalanya terasa pahit dan getir. Ia
tidak pernah menyangka, jika darah yang sering tiba-tiba mengalir dari gusinya merupakan
suatu pertanda kanker darah.
Sudah sebulan ia tak sempat berbicara.
Pikirannya disibukkan dengan gundukan prasangka dan kecewa. Obat dari dokter
selama ini sudah ia abaikan. Tuhan, tak
dapat lagi aku bernyanyi riang dengan tim paduan suara di kampus, tidak mampu
lagi aku diskusi di kelas, dan mungkin pertukaran mahasiswa ke Jepang kemarin
adalah perjalanan ke luar negeri terakhirku.Gadis ini memutar kembali
siluet jejak prestasi yang begitu gilang-gemilang. Apa yang ia inginkan, dengan
sekuat tenaga ia berusaha meraihnya. Seakan selalu mendapatkan lampu hijau dari
Tuhan. Namun kini, semua seakan terenggut. Kembali ia menangisi takdir.Mengapa bukan yang lain?
Gadisitu bangkit. Ia pandangi langit
yang semakin memudar, mungkin untuk terakhir kalinya. Sejurus kemudian ia pejamkan
mata dan mengambil napas dalam. Perlahan jemari kakinya mulai merangsuk ke
depan, tepat di bibir atap gedung. Ingin sekali ia merobohkan tubuhnya.
Mengakhiri hidup yang tidak adil menurutnya.
“Rinai!” Tiba-tiba seorang pria jangkung
datang dengan nafas yang memburu. Peluh dari dahinya mengembun. Wajahnya yang terlihat
pucat dan carut-marut,kini semakin keruh ketika tahu sosok yang dicari berdiri
di ujung gedung. Ia tidak berani bertanya apa yang gadis itu lakukan.
“Rin, sudah sore. Mari kuantar pulang!”
kata pria itu.
“Untuk apa? Memintaku makan, minum obat,
lalu istirahat?” buliran bening kembali menggantung di kelopak mata Rinai.
“Sudah tidak ada harapan lagi, Fajar! Sebentar lagi aku akan mati.”Air matanya
semakin pecah, mengalir di antara pipi yang mulai tirus. Rinai mulai
sesenggukan dan tak mampu menguasai diri.
Pria yang bernama Fajar itu hanya
membisu. Membiarkan Rinai menangis, menumpahkan segala emosinya.Tanpa
dikomando, Fajar duduk di ujung gedung, menggantungkan kedua kakinya dan menunggu
tangis Rinai mereda. Sisa nafas yang memburu tak mampu ia tutupi.
“Baca catatan ini!”perintah Fajar sambil
menyodorkan sebuah buku tulis lusuh berwarna hijau yang ia keluarkan dari tas
punggungnya. Dengan hati-hati Rinai membuka buku itu. Kini Rinai berada tepat
di samping Fajar. Duduk sama menggantungkan kakinya. Gampang sekali membujuk gadis ini. Gumam Fajar dalam hati, bibirnya
mengulum tanpa ia sadari.
Pada halaman pertama, Rinai temukan deretan
angka 1 sampai 25. “Peta Hidupku” itulah
judulnya. Sebuah mimpi-mimpi Fajar yang divisualisasikan dengan tulisan. Mulai
tahun 2003 hingga tahun 2072 Fajar menuliskan cita-cita yang akan dia capai. Deretan
tulisan itu berbunyi S2 di Jepang, pergi haji dengan kedua orang tua, memiliki
motor, menikah di usia 25 tahun, umroh di bulan ramadhan, mendirikan panti
jompo, hafal Al-quran, punya mobil, dan masih ada 50 angka yang berbaris pada halaman
berikutnya. Tanpa sadar, bibir Rinai tersungging, saat melewati nomor yang
berbunyi “bisa masak gule kambing”.
“Aku tidak ingin mati sebelum semuanyaterwujud!”
ungkap Fajar.
“Setidaknya kau tidak sakit.” kata Rinai
seakan membuat pembelaan.
“Bahkan aku dan kamu pun tak pernah tahu
kapan menemui Tuhan.”sergah Fajar.Mereka berdua hanya diam dan menyelami
pikirannya masing-masing. Tak ada
diskusi hangat, seperti yang biasa mereka lakukan.
Sejurus kemudian adzan maghrib
berkumandang. Rinai memandangipria yang ada di sampingnya. Dilihatnya wajah itu
lekat-lekat, seakan ia tidak akan menjumpai pemilik wajah manis ini. Fajar
hanya terdiam. Wajahnya tertunduk dan mulutnya berkomat-kamit di akhir adzan.
“Sudah cukup kau memandangiku?” tanya
Fajar masih dalam tunduknya.Rinaihanya bisa gelagapan saat Fajar tahu apa yang lakukan
sahabatnya itu.
“Entahlah, aku masih belum rela.” Sahut Rinai
singkat.
“Aku tidak memintamu untuk menyimpulkan
perkataanku.” Kata Fajar sambil bangkit dari duduknya. “Jika ingin tenang, ikut
aku ke sana.” Sambil menunjuk bangunan yang berkubah. Tidak ada penolakan pada
diri Rinai. Dari belakang, gadis ini mengikuti langkah Fajar. Langkah itu
terhenti pada sebuah bangunan yang berkubah.
...
Seluruh tubuhnya masih terbalut kain
putih yang menyisakan raut wajah.Kedua telapaknya tetap menengadah penuh harap.Buliran
bening tak henti-hentinya keluar dari kedua matanya. Bibirnya masih bergetar seakan
dia rela dengan garis yang ditetapkan Tuhan.Dia tak lagi bertanya tentang
keadilan.
Sejurus kemudian ia berbalik ke arah
pintu bangunan. Dilihatya Fajar yang sudah menunggunya.
“Maaf, membuatmu menunggu lama” kata Rinai
saat berjalan keluar bangunan itu. Keduanya berjalan seirama di trotoar yang
kebetulan mulai renggang.
“Tidak apa-apa.” Jawab Fajar ringan.
“Aku jadi ingin punya “Peta Hidup”.
UngkapRinai, yang diajak bicara hanya menyembunyikan senyum penuh arti. Hobi baru
keduanya,segera terdiam.
Langkah Fajar terhenti, memperbaiki tali
sepatu yang terburai. Rinai masih berjalan tanpa menyadari Fajar tertinggal
beberapa langkah. Tiba-tiba, dari belakang sebuah mobil melaju dengan cepat
tanpa terkendali. Mobil itu kehilangan kontrol hingga menerobos trotoar di bahu
jalan. Tidak ada yang menyangka, semua sudah tergaris jelas. Pelajan kaki yang
kebetulan berada di situ tidak bisa menghindar. Tidak terkecuali Fajar dan Rinai.
Kini yang terlihat darah membanjiri trotoar.
....
NisrinaSyahirah. Jika dilogika, seharusnya nama
itulah yang terukir pada sebuah nisan. Hasil prediksi yang diciptakan manusia. Namun
garis Tuhan tidak bisa ditolak.Nama Fajar Tadhiyahyang kini melekat pada batu itu.Rinai tidak tahu jika senyum pada bibir
Fajar yang lalu, adalah senyum yang terakhir ia lihat.Rinai berdiri di dekat
gundukan tanah yang masih basah dan mulai sepi dari pentakziyah. Senja hari ini dan senja kemarin benar-benar tidak
bisa ia tebak.
“Seharusnya,kau tak perlu menjemputku di
atap gedung. Seharusnya kau tak perlu berjalan di trotoar itu. Dan sudah
kuperingatkan jangan memakai sepatu buntut itu!” protes Rinai dalam hati.Langit
tiba-tiba mendung, seakan ikut merasakan kehilangan.
“Dan bagaimana pun aku membela diri,
pada akhirnya kau memang benar. Bahkan kau dan aku pun tak pernah tahu kapan
menemui Tuhan.” Kini Rinai menghapus air mata. Sudah cukup banyak ia menangis.
Dalam hati ia berbisik, tak akan pernah menangis.
Senja kali ini, Rinai memang tidak
ditemani Fajar. Namun buku hijau lusuh yang belum sempat ia kembalikan, dirasa
cukup menggantikannya. Tak ingin berlarut-larut, Rinai membalikkan tubuh dan
mengubur kenangan indah bersamanya. Di langkah ke keenam, sebelum dua malaikat
berbisik pada tubuh beku itu, ia berhenti. Kembali memandangi pusaran pria yang
telah bersamanya sejak dua tahun lalu. Seakan meminta izin melanjutkan “Peta
Hidup” milik Fajar. Baginya, gerimis yang mulai membasahi tubuh layunya adalah
pertanda Fajar tak akan pernah keberatan. Dengan senyum yang tersungging, Rinai
kembali melangkah dengan harapan hidup yang lebih hidup.
Post a Comment