FLP Pasuruan (Berbakti, Berkarya, Berarti)

RINAI DI UJUNG SENJA

Wednesday, February 12, 20140 comments

RINAI DI UJUNG SENJA
Oleh : Halimatus Sakdeyah
Semburat warna jingga menghiasi atap langit. Semilir angin senja menari-nari di pelupuk mata. Membius setiap mata untuk segera terlelap. Burung-burung terpacu mengepakkan sayap menuju ke peraduannya. Tidak peduli dengan riuhnya jalanan yang mulai padat. Lalu lintas penuh dengan mobil, motor, dan kendaraan umum.Tidak kurang-kurang,jeritan klakson yang saling bersautantak mau mengalah. Betapa kontras antara langit dan bumikala senja.
Pada perbatasan antara langit dan bumi, terlihat seorang gadis yang duduk termangu di atapgedung. Rambut panjangnya yang lurus terhempas angin senja. Tubuhnyatinggi semampai, dibalut wajah keruh dan lusuh. Pandangannya lurus nan kosong, seakan tidak ada titik fokus yang menjadi pusat perhatiannya. Sejurus kemudian, kedua matanya tertunduk. Mengamati apapun yang ada di bawah kakinya. Ia melihat lalu-lalang kendaraan yang melintas tepat di bawah kakinya.Gedung ini cukup tinggi, desirnya.
Seirama dengan kepalanya yang tertunduk, kedua mata itu telah dipenuhi buliran bening.Semakin lama semakin deras, disusul isak yang sulit diterjemahkan. Siapa yang mengira, buliran bening itu berasal dari sepatah kata dokter sebulan yang lalu.
“Sudah stadium lanjut, kemungkinan sisa waktu hanya 2 bulan.” Kata seorang dokter yang menangani gadis itu. Dan siapa yang tahu, percakapan itu adalah awal dari keputusasaan yang berlarut-larut. Baginya, tak ada lagi hangatnya mentari pagi, harumnya bunga Seruni, lezatnya buah Durian, dan merdunya kicauan burung Perenjak. Yang ada gumpalan mendung, anyir darah yang membeku, dan rintihan hati. Segalanya terasa pahit dan getir. Ia tidak pernah menyangka, jika darah yang sering tiba-tiba mengalir dari gusinya merupakan suatu pertanda kanker darah.
Sudah sebulan ia tak sempat berbicara. Pikirannya disibukkan dengan gundukan prasangka dan kecewa. Obat dari dokter selama ini sudah ia abaikan. Tuhan, tak dapat lagi aku bernyanyi riang dengan tim paduan suara di kampus, tidak mampu lagi aku diskusi di kelas, dan mungkin pertukaran mahasiswa ke Jepang kemarin adalah perjalanan ke luar negeri terakhirku.Gadis ini memutar kembali siluet jejak prestasi yang begitu gilang-gemilang. Apa yang ia inginkan, dengan sekuat tenaga ia berusaha meraihnya. Seakan selalu mendapatkan lampu hijau dari Tuhan. Namun kini, semua seakan terenggut. Kembali ia menangisi takdir.Mengapa bukan yang lain?
Gadisitu bangkit. Ia pandangi langit yang semakin memudar, mungkin untuk terakhir kalinya. Sejurus kemudian ia pejamkan mata dan mengambil napas dalam. Perlahan jemari kakinya mulai merangsuk ke depan, tepat di bibir atap gedung. Ingin sekali ia merobohkan tubuhnya. Mengakhiri hidup yang tidak adil menurutnya.
“Rinai!” Tiba-tiba seorang pria jangkung datang dengan nafas yang memburu. Peluh dari dahinya mengembun. Wajahnya yang terlihat pucat dan carut-marut,kini semakin keruh ketika tahu sosok yang dicari berdiri di ujung gedung. Ia tidak berani bertanya apa yang gadis itu lakukan.
“Rin, sudah sore. Mari kuantar pulang!” kata pria itu.
“Untuk apa? Memintaku makan, minum obat, lalu istirahat?” buliran bening kembali menggantung di kelopak mata Rinai. “Sudah tidak ada harapan lagi, Fajar! Sebentar lagi aku akan mati.”Air matanya semakin pecah, mengalir di antara pipi yang mulai tirus. Rinai mulai sesenggukan dan tak mampu menguasai diri.
Pria yang bernama Fajar itu hanya membisu. Membiarkan Rinai menangis, menumpahkan segala emosinya.Tanpa dikomando, Fajar duduk di ujung gedung, menggantungkan kedua kakinya dan menunggu tangis Rinai mereda. Sisa nafas yang memburu tak mampu ia tutupi.
“Baca catatan ini!”perintah Fajar sambil menyodorkan sebuah buku tulis lusuh berwarna hijau yang ia keluarkan dari tas punggungnya. Dengan hati-hati Rinai membuka buku itu. Kini Rinai berada tepat di samping Fajar. Duduk sama menggantungkan kakinya. Gampang sekali membujuk gadis ini. Gumam Fajar dalam hati, bibirnya mengulum tanpa ia sadari.
Pada halaman pertama, Rinai temukan deretan angka 1 sampai 25.  “Peta Hidupku” itulah judulnya. Sebuah mimpi-mimpi Fajar yang divisualisasikan dengan tulisan. Mulai tahun 2003 hingga tahun 2072 Fajar menuliskan cita-cita yang akan dia capai. Deretan tulisan itu berbunyi S2 di Jepang, pergi haji dengan kedua orang tua, memiliki motor, menikah di usia 25 tahun, umroh di bulan ramadhan, mendirikan panti jompo, hafal Al-quran, punya mobil, dan masih ada 50 angka yang berbaris pada halaman berikutnya. Tanpa sadar, bibir Rinai tersungging, saat melewati nomor yang berbunyi “bisa masak gule kambing”.
“Aku tidak ingin mati sebelum semuanyaterwujud!” ungkap Fajar.
“Setidaknya kau tidak sakit.” kata Rinai seakan membuat pembelaan.
“Bahkan aku dan kamu pun tak pernah tahu kapan menemui Tuhan.”sergah Fajar.Mereka berdua hanya diam dan menyelami pikirannya masing-masing. Tak ada  diskusi hangat, seperti yang biasa mereka lakukan.
Sejurus kemudian adzan maghrib berkumandang. Rinai memandangipria yang ada di sampingnya. Dilihatnya wajah itu lekat-lekat, seakan ia tidak akan menjumpai pemilik wajah manis ini. Fajar hanya terdiam. Wajahnya tertunduk dan mulutnya berkomat-kamit di akhir adzan.
“Sudah cukup kau memandangiku?” tanya Fajar masih dalam tunduknya.Rinaihanya bisa gelagapan saat Fajar tahu apa yang lakukan sahabatnya itu.
“Entahlah, aku masih belum rela.” Sahut Rinai singkat.
“Aku tidak memintamu untuk menyimpulkan perkataanku.” Kata Fajar sambil bangkit dari duduknya. “Jika ingin tenang, ikut aku ke sana.” Sambil menunjuk bangunan yang berkubah. Tidak ada penolakan pada diri Rinai. Dari belakang, gadis ini mengikuti langkah Fajar. Langkah itu terhenti pada sebuah bangunan yang berkubah.
...
Seluruh tubuhnya masih terbalut kain putih yang menyisakan raut wajah.Kedua telapaknya tetap menengadah penuh harap.Buliran bening tak henti-hentinya keluar dari kedua matanya. Bibirnya masih bergetar seakan dia rela dengan garis yang ditetapkan Tuhan.Dia tak lagi bertanya tentang keadilan.
Sejurus kemudian ia berbalik ke arah pintu bangunan. Dilihatya Fajar yang sudah menunggunya.
“Maaf, membuatmu menunggu lama” kata Rinai saat berjalan keluar bangunan itu. Keduanya berjalan seirama di trotoar yang kebetulan mulai renggang.
“Tidak apa-apa.” Jawab Fajar ringan.
“Aku jadi ingin punya “Peta Hidup”. UngkapRinai, yang diajak bicara hanya menyembunyikan senyum penuh arti. Hobi baru keduanya,segera terdiam.
Langkah Fajar terhenti, memperbaiki tali sepatu yang terburai. Rinai masih berjalan tanpa menyadari Fajar tertinggal beberapa langkah. Tiba-tiba, dari belakang sebuah mobil melaju dengan cepat tanpa terkendali. Mobil itu kehilangan kontrol hingga menerobos trotoar di bahu jalan. Tidak ada yang menyangka, semua sudah tergaris jelas. Pelajan kaki yang kebetulan berada di situ tidak bisa menghindar. Tidak terkecuali Fajar dan Rinai. Kini yang terlihat darah membanjiri trotoar.
....
NisrinaSyahirah. Jika dilogika, seharusnya nama itulah yang terukir pada sebuah nisan. Hasil prediksi yang diciptakan manusia. Namun garis Tuhan tidak bisa ditolak.Nama Fajar Tadhiyahyang kini melekat pada batu  itu.Rinai tidak tahu jika senyum pada bibir Fajar yang lalu, adalah senyum yang terakhir ia lihat.Rinai berdiri di dekat gundukan tanah yang masih basah dan mulai sepi dari pentakziyah. Senja hari ini dan senja kemarin benar-benar tidak bisa ia tebak.
“Seharusnya,kau tak perlu menjemputku di atap gedung. Seharusnya kau tak perlu berjalan di trotoar itu. Dan sudah kuperingatkan jangan memakai sepatu buntut itu!” protes Rinai dalam hati.Langit tiba-tiba mendung, seakan ikut merasakan kehilangan.
“Dan bagaimana pun aku membela diri, pada akhirnya kau memang benar. Bahkan kau dan aku pun tak pernah tahu kapan menemui Tuhan.” Kini Rinai menghapus air mata. Sudah cukup banyak ia menangis. Dalam hati ia berbisik, tak akan pernah menangis.

Senja kali ini, Rinai memang tidak ditemani Fajar. Namun buku hijau lusuh yang belum sempat ia kembalikan, dirasa cukup menggantikannya. Tak ingin berlarut-larut, Rinai membalikkan tubuh dan mengubur kenangan indah bersamanya. Di langkah ke keenam, sebelum dua malaikat berbisik pada tubuh beku itu, ia berhenti. Kembali memandangi pusaran pria yang telah bersamanya sejak dua tahun lalu. Seakan meminta izin melanjutkan “Peta Hidup” milik Fajar. Baginya, gerimis yang mulai membasahi tubuh layunya adalah pertanda Fajar tak akan pernah keberatan. Dengan senyum yang tersungging, Rinai kembali melangkah dengan harapan hidup yang lebih hidup.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. FLP PASURUAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger