Suara Telinga
By: Iba_Islamia
sumber gambar :http://klik.kompas.com |
“Dasar anak tak tau diuntung, sudah disekolahkan malah
bolos terus-terusan. Mau jadi apa kamu??”
“Siapa yang mau disekolahkan, aku tak minta Mak. Aku
bosan Mak”
“Bosan katamu, siapa yang lebih bosan, Kau atau Aku yang
sudah bosan memberimu makan?”
Pagi ini, lagi-lagi suara gaduh membangunkan Pak Sahri
dari tidurnya. Padahal matahari sudah sejak tadi memancarkan sinarnya. Kemilau
cahayanya telah masuk ke rumah kecil itu melalui lubang atap yang tak sempat
diperbaiki. Namun Pak Sahri memang tak mengikuti aturan matahari seperti yang
orang-orang lain lakukan, tidur saat matahari tak tampak, bangun saat matahari
terbit. Ia tidur setelah istrinya berhenti mengoceh, ia bangun saat ocehan
istrinya terdengar.
Pak Sahri duduk terdiam beberapa saat sebelum berdiri
menghampiri istrinya yang sedang meggoreng ikan asin kesukaannya. Bau menyengat
ikan asin memenuhi seluruh ruangan rumah yang hanya sepetak itu.
“Baru bangun, Pak?” dengan nada ketus istrinya
menyapa,Pak Sahri tak pernah menjawab pertanyaan yang tak perlu dijawab
menurutnya.
“Kalau Bapak selalu
bangun sesiang ini, bagaimana Bapak dapat penumpang? Sebentar lagi pasar sudah
bubar, anak-anak sekolah sudah pelajaran di kelas, Bapak mau ngangkut siapa? Kambing?” istrinya merepet
sambil tangannya sibuk mengulak sambal.
Lagi-lagi, Pak Sahri tak menanggapi ocehan istrinya, Ia
hanya duduk di kursi yang sudah lapuk di depan meja reot yang mereka sebut meja
makan. Tatapannya kosong, entah apa yang dipikirkannya.
“Sekarang Aku tahu dari mana sifat pemalas anakmu
berasal, buah jatuh tak jauh dari pohonnya kan Pak?”
“Aku berangkat Buk..”
Tanpa menghiraukan ocehan istrinya yang ditujukan
padanya, ia berdiri dan berjalan gontai meninggalkan meja makan.
“Selalu begitu, kalau diajak ngomong mbok ya
ngomong, kenapa? Merasa tersindir Pak. Salah sendiri jadi pemalas. Sudah, Aku tak
mau tahu Kau mau sarapan atau nggak.”
Pak Sahri keluar dari kamarnya dengan membawa topi dan
serbet dikalungkan dilehernya. Ia berjalan pelan. Pelan sekali. Bahkan hembusan
napasnya pun pelan.
Matahari pagi harusnya tidak terlalu panas, tapi tidak
hari ini. Matahari begitu menyengat, membuat Pak Sahri yang masih separuh jalan
mengayuh becaknya berkeringat sehingga kaos pendeknya yang tipis, basah.
Setiap hari Ia mangkal di depan pasar untuk menunggu
penumpang, berkumpul dengan teman-temannya sesama tukang becak. Namun, ia
kurang begitu suka dengan keramaian seperti itu. Saat yang lain saling
melemparkan guyonan khas tukang becak, Ia hanya diam, tak pernah menimpali, hanya
sesekali Ia tersenyum.
“Mbak, harga beras naik ya?”
“Ya”
“Kok naik ya Mbak, belum lagi minyak, telur, cabai.
Semuanya naik. Tapi gaji suami Saya tak pernah sekalipun naik.”
“Jadi beli nggak, nih?”
“Iya, iya. Berapa harganya?”
“Yang bagus dua belas, yang jelek Sembilan”
“Kok mahal banget mbak”
“Kan tadi sudah tahu Bu, kalau harganya naik”
“Ia, tapi masak naiknya tinggi banget. Kemarin yang
jelek masih delapan Mbak”
“Ibu tanya aja sama toko-toko lain, harganya ya sama,
segitu”
“Lah ya Mbak, kok harga dinaikin terus, maunya apa
yang di atas itu. Ya kalau semua orang kaya kayak orang-orang di perumahan
gede-gede itu, naik segini nggak akan pengaruh begi mereka. Lah kalau seperti
saya, anak tiga masih sekolah semua. Katanya gratis, tapi iuran tiap hari,
iuran buat wisata, iuran acara lulusan. Kalau nggak kuat bisa-bisa mati berdiri
Saya tiap anak-anak minta uang lebih.”
Pak Sahri mendengar jelas pembicaraan antara penjual
dan pembeli tak jauh di depan tempat Ia duduk di becaknya. Ia teringat istrinya
yang banyak bicara seperti pembeli yang masih belum juga memutuskan jadi
membeli beras atau tidak, membuat penjual sebal.
“Oh ya,, anak-anak Ibu sudah besar ya?” pembeli itu
masih mengajak penjual bicara. Mendengar pembeli di depannya mnanyakan anaknya,
si penjual tampak antusias.
“Ya, anak saya dua. Yang satunya sudah menikah, sudah
kerja, tiap hari pakai dasi, sepatunya mengkilat. Gajinya juga gede. Dia
memegang jabatan penting dikantornya. Bahkan, bisa dibilang kalau tidak ada
anak Saya, perusahaan tu nggak akan maju seperti sekarang”
Pembeli yang mendengarkannya tersenyum, lebih
menunjukkan senyuman iri daripadi senyuman turut bahagia.
“Yang satunya lagi, masih kuliah. Dia juga pinter.
Selalu dapat beasiswa. Saya tak pernah mengeluarkan uang sepeser pun. Selain
itu, Ia ikut kegiatan ini itu. Walaupun masih muda pengalamannya banyak.” Si penjual
mengakhiri cerita panjangnya dengan tersenyum bangga, yang terlihat oleh Pak
Sahri kesombongan terselip dalamsenyum itu.
Entah kenapa, semakin Ia mendengarkan percakapan itu, Ia
merasa muak. Telinganya sakit. Sakit tak tertahankan. Ia tak pernah merasa
seperti ini sebelumnya. Kepalanya pusing. Ia tak bisa lagi mendengar pembicaraan
pembeli dan penjual yang memuakkan itu.
Ia mengalihkan pandangannya ke samping. Hal yang sama
terjadi. Ia tak bisa mendengar temannya bicara, ia hanya melihat bibir temannya
bergerak-gerak.
Pak Sahri ketakutan, mungkinkah ia tuli? Tapi ia masih
belum cukup tua untuk tuli. Umurnya baru 33 tahun.
Akhirnya, Ia memutuskan untuk menjauh dari keramaian.
Dari dulu Ia benci keramaian. Ia suka sendiri. Ia suka suara angin yang mendesir, yang
menderu. Ia suka suara gesekan daun yang gemerisik. Ia suka suara gemericik
air, di sungai, di kolam , di air terjun, di pancoran, di kran.
Ia duduk di bawah pohon beringin besar yang rindang,
kini Ia sendiri. Tak lama Ia sudah terlelap.
“Anak setan, jangan lagi pulang kesini, Aku bukan Ibumu.
Aku tak pernah punya anak Kamu. Kamu anak setan.”
“Bajingan, Kau. Kau ambil semua uangku. Kembalikan
uangku. Itu warisan untuk ku”
“Tak ada satu orang pun yang bisa menandingi
kepintaranku, kekayaanku,, tak ada semua kecil di depanku”
Suara-suara itu muncul satu-persatu, mengusik
ketenangannya mendengar suara angin, suara daun, suara air. Telinganya sakit,
lebih sakit dari sebelumnya.
Ia bangun tergagap. Ia menangis. Sekian lama ia tak
pernah menangis. Baru kali ini, karena suara-suara yang menyakiti telinganya
bahkan di dalam mimpi, membuatnya menangis.
Ia sadar, tak ada lagi suara yang enak di dengar di
dunia ini. Semuanya kotor. Yang kotor semakin kotor. Yang baik terselubung
kotor. Ia rindu suara yang menenangkan. Suara ketika ia masih kecil selalu Ia dengar.
Kini kemana suara itu. Dan Ia juga lupa suara apa itu?
Merasa putus asa mengingat suara yang bisa
menenangkannya, Ia lari. Ia lupa sudah waktunya pulang, bahkan Ia lupa
becaknya.
Ia melewati kampung-kampung, jalan becek, sampai jalan
beraspal. Ia tak menghiraukan orang-orang yang melihatnya dengan tatapan aneh.
Ia tak mendengar istrinya memanggil-manggilnya. Ia tak mendengar kenalannya
menyapa di jalan. Ia hanya ingin berlari dan berharap menemukan suara yang
menenangkannya.
Matahari sudah kembali ke peraduannya, hawa dingin
mulai merasuki tulang. Ratusan tetesan keringat tak ia hiraukan. Bajunya yang
basah kuyup lebih mirip kehujanan tak membuatnya berhenti. Ia terus berlari,
sampai Ia bertabrakan dengan seseorang yang memakai sarung, pakaian lengan
panjang putih, berkopyah.
“Ada apa pak? Kenapa bapak berlari?” tanya pria itu
“Katakan, katakan pada saya, suara apa yang tak bisa
membuat telinga saya sakit. Katakan. Katakan” Pak Sahri berteriak dan menangis.
“Tenang, Pak tenang. Bapak ini siapa? Darimana? Saya
tida mengerti maksud bapak.”
“Suara apa… suara apa.. katakan pada saya” kini Pak
Sahri meraung seperti anak kecil
“Gini saja pak, Bapak ikut saya ke masjid. Itu di
depan ada masjid. Biar Bapak lebih tenang. Nanti Bapak cerita sama Saya jelasnya.”
Ucap pria itu sambil membimbing Pak Sahri berjalan ke Arah Masjid.
Pak Sahri hanya mengikuti pria yang menggandengnya, Ia
seperti orang linglung. Pria itu membimbingnya untuk mencuci kaki. Pak Sahri hanya
berdiri saat pria itu memutar kran, dan memasukkan air ke mulut dan melepehnya
tiga kali. Ia hanya melihat pria itu membisikkan sesuatu, dan mulai membasuhkan
air ke wajahnya, tangannya, rambutnya, telinganya, kakinya. Semua diulang tiga
kali. Pemandangan ini membawa Pak Sahri ke masa kecilnya, tak terasa air hangat
mengalir di pipinya. Rupanya Ia sudah lupa bagaimana mensucikan diri.
Menyadari Pak Sahri hanya melihatnya, pria itu
tersenyum tanpa menyruh Pak Sahri melakukan seperti yang ia lakukan. Ia
menggandeng lengan Pak Sahri lagi. Pasrah. Pak Sahri mengikuti tarikan
tangannya masuk ke bangunan besar. Hanya ada satu ruangan besar berwarna putih.
Pak Sahri melihat sekeliling. Terlihat beberapa orang sedang duduk dan
menenggelamkan wajahnya. Ada lagi yang membawa seperti buku den bibirnya
bergerak-gerak. Apa yang mereka lakukan disini?
“Tunggu di sini sebentar Pak, sudah masuk waktunya
maghrib. Saya adzan dulu. Bapak duduk saja di sini” pria itu membimbingnya
duduk
Pak Sahri duduk dan mengikuti pria itu dalam
pandangannya. Ia tak mendengar apa-apa di sini, walau ia melihat banyak bibir
yang bergerak. Ia melihat pria itu memegang mikrofon dan memejamkan mata.
Tangan kirinya menutup telinga kirinya. Pak Sahri bertanya-tanya. Apa yang Ia lakukan?
Pak Sahri hanya duduk di belakang sampai satu persatu
orang-orang meninggalkan tempat putih itu.
Pria tadi yang membimbingnya menghampiri,
“Apa yang Kau lakukan tadi sambil memegang mikrofon?”
pak sahri bertanya begitu pria duduk di depannya.
“Oooh, tadi saya adzan Pak. Adzan maghrib. Panggilan
sholat, Pak”
“Apa Kau tadi bersuara?”
Pria itu bingung dengan pertanyaan Pak Sahri.
“Tentu saja pak, saya tadi sampai ngotot loh” pria itu
mencoba mencairkan suasana
“Tapi Saya tidak mendengar apa-apa”
Pria itu terkejut, bagaimana bisa?
“Ya adzan katamu, Saya kira sudah tak ada ada Adzan di
dunia ini. Tak pernah sekalipun Saya mendengar adzan selain masa lalu Saya.”
Kini Pak Sahri menggigil, merasakan ketakutan luar
biasa. Mungkinkah telinganya tertutup untuk suara yang mungkin bisa menenangkannya
itu.
Pria itu hanya memandang bingung pada Pak Sahri yang
memeluk kakinya, menangis dan menggigil dalam ketakutan.
Sementara angin di luar masjid mendesir, menggoyangkan
daun bergemerisik.
Iba Islamia
fb : Iba Islamia
|
Post a Comment