FLP Pasuruan (Berbakti, Berkarya, Berarti)

Suara Telinga

Saturday, June 14, 20140 comments

Suara Telinga

                                                                      By: Iba_Islamia

sumber gambar :http://klik.kompas.com


“Dasar anak tak tau diuntung, sudah disekolahkan malah bolos terus-terusan. Mau jadi apa kamu??”

“Siapa yang mau disekolahkan, aku tak minta Mak. Aku bosan Mak”

“Bosan katamu, siapa yang lebih bosan, Kau atau Aku yang sudah bosan memberimu makan?”

Pagi ini, lagi-lagi suara gaduh membangunkan Pak Sahri dari tidurnya. Padahal matahari sudah sejak tadi memancarkan sinarnya. Kemilau cahayanya telah masuk ke rumah kecil itu melalui lubang atap yang tak sempat diperbaiki. Namun Pak Sahri memang tak mengikuti aturan matahari seperti yang orang-orang lain lakukan, tidur saat matahari tak tampak, bangun saat matahari terbit. Ia tidur setelah istrinya berhenti mengoceh, ia bangun saat ocehan istrinya terdengar.

Pak Sahri duduk terdiam beberapa saat sebelum berdiri menghampiri istrinya yang sedang meggoreng ikan asin kesukaannya. Bau menyengat ikan asin memenuhi seluruh ruangan rumah yang hanya sepetak itu.

“Baru bangun, Pak?” dengan nada ketus istrinya menyapa,Pak Sahri tak pernah menjawab pertanyaan yang tak perlu dijawab menurutnya.

 “Kalau Bapak selalu bangun sesiang ini, bagaimana Bapak dapat penumpang? Sebentar lagi pasar sudah bubar, anak-anak sekolah sudah pelajaran di kelas,  Bapak mau ngangkut siapa? Kambing?” istrinya merepet sambil tangannya sibuk mengulak sambal.

Lagi-lagi, Pak Sahri tak menanggapi ocehan istrinya, Ia hanya duduk di kursi yang sudah lapuk di depan meja reot yang mereka sebut meja makan. Tatapannya kosong, entah apa yang dipikirkannya.

“Sekarang Aku tahu dari mana sifat pemalas anakmu berasal, buah jatuh tak jauh dari pohonnya kan Pak?”
“Aku berangkat Buk..”

Tanpa menghiraukan ocehan istrinya yang ditujukan padanya, ia berdiri dan berjalan gontai meninggalkan meja makan.

“Selalu begitu, kalau diajak ngomong mbok ya ngomong, kenapa? Merasa tersindir Pak. Salah sendiri jadi pemalas. Sudah, Aku tak mau tahu Kau mau sarapan atau nggak.”

Pak Sahri keluar dari kamarnya dengan membawa topi dan serbet dikalungkan dilehernya. Ia berjalan pelan. Pelan sekali. Bahkan hembusan napasnya pun pelan.
Matahari pagi harusnya tidak terlalu panas, tapi tidak hari ini. Matahari begitu menyengat, membuat Pak Sahri yang masih separuh jalan mengayuh becaknya berkeringat sehingga kaos pendeknya yang tipis, basah.
Setiap hari Ia mangkal di depan pasar untuk menunggu penumpang, berkumpul dengan teman-temannya sesama tukang becak. Namun, ia kurang begitu suka dengan keramaian seperti itu. Saat yang lain saling melemparkan guyonan khas tukang becak, Ia hanya diam, tak pernah menimpali, hanya sesekali Ia tersenyum.

“Mbak, harga beras naik ya?”

“Ya”

“Kok naik ya Mbak, belum lagi minyak, telur, cabai. Semuanya naik. Tapi gaji suami Saya tak pernah sekalipun naik.”

“Jadi beli nggak, nih?”

“Iya, iya. Berapa harganya?”

“Yang bagus dua belas, yang jelek Sembilan”

“Kok mahal banget mbak”

“Kan tadi sudah tahu Bu, kalau harganya naik”

“Ia, tapi masak naiknya tinggi banget. Kemarin yang jelek masih delapan Mbak”

“Ibu tanya aja sama toko-toko lain, harganya ya sama, segitu”

“Lah ya Mbak, kok harga dinaikin terus, maunya apa yang di atas itu. Ya kalau semua orang kaya kayak orang-orang di perumahan gede-gede itu, naik segini nggak akan pengaruh begi mereka. Lah kalau seperti saya, anak tiga masih sekolah semua. Katanya gratis, tapi iuran tiap hari, iuran buat wisata, iuran acara lulusan. Kalau nggak kuat bisa-bisa mati berdiri Saya tiap anak-anak minta uang lebih.”

Pak Sahri mendengar jelas pembicaraan antara penjual dan pembeli tak jauh di depan tempat Ia duduk di becaknya. Ia teringat istrinya yang banyak bicara seperti pembeli yang masih belum juga memutuskan jadi membeli beras atau tidak, membuat penjual sebal.

“Oh ya,, anak-anak Ibu sudah besar ya?” pembeli itu masih mengajak penjual bicara. Mendengar pembeli di depannya mnanyakan anaknya, si penjual tampak antusias.

“Ya, anak saya dua. Yang satunya sudah menikah, sudah kerja, tiap hari pakai dasi, sepatunya mengkilat. Gajinya juga gede. Dia memegang jabatan penting dikantornya. Bahkan, bisa dibilang kalau tidak ada anak Saya, perusahaan tu nggak akan maju seperti sekarang”

Pembeli yang mendengarkannya tersenyum, lebih menunjukkan senyuman iri daripadi senyuman turut bahagia.

“Yang satunya lagi, masih kuliah. Dia juga pinter. Selalu dapat beasiswa. Saya tak pernah mengeluarkan uang sepeser pun. Selain itu, Ia ikut kegiatan ini itu. Walaupun masih muda pengalamannya banyak.” Si penjual mengakhiri cerita panjangnya dengan tersenyum bangga, yang terlihat oleh Pak Sahri kesombongan terselip dalamsenyum itu.

Entah kenapa, semakin Ia mendengarkan percakapan itu, Ia merasa muak. Telinganya sakit. Sakit tak tertahankan. Ia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Kepalanya pusing. Ia tak bisa lagi mendengar pembicaraan pembeli dan penjual yang memuakkan itu.

Ia mengalihkan pandangannya ke samping. Hal yang sama terjadi. Ia tak bisa mendengar temannya bicara, ia hanya melihat bibir temannya bergerak-gerak.

Pak Sahri ketakutan, mungkinkah ia tuli? Tapi ia masih belum cukup tua untuk tuli. Umurnya baru 33 tahun. 
Akhirnya, Ia memutuskan untuk menjauh dari keramaian. Dari dulu Ia benci keramaian. Ia suka sendiri.  Ia suka suara angin yang mendesir, yang menderu. Ia suka suara gesekan daun yang gemerisik. Ia suka suara gemericik air, di sungai, di kolam , di air terjun, di pancoran, di kran.

Ia duduk di bawah pohon beringin besar yang rindang, kini Ia sendiri. Tak lama Ia sudah terlelap.
“Anak setan, jangan lagi pulang kesini, Aku bukan Ibumu. Aku tak pernah punya anak Kamu. Kamu anak setan.”

“Bajingan, Kau. Kau ambil semua uangku. Kembalikan uangku. Itu warisan untuk ku”

“Tak ada satu orang pun yang bisa menandingi kepintaranku, kekayaanku,, tak ada semua kecil di depanku”
Suara-suara itu muncul satu-persatu, mengusik ketenangannya mendengar suara angin, suara daun, suara air. Telinganya sakit, lebih sakit dari sebelumnya.

Ia bangun tergagap. Ia menangis. Sekian lama ia tak pernah menangis. Baru kali ini, karena suara-suara yang menyakiti telinganya bahkan di dalam mimpi, membuatnya menangis.

Ia sadar, tak ada lagi suara yang enak di dengar di dunia ini. Semuanya kotor. Yang kotor semakin kotor. Yang baik terselubung kotor. Ia rindu suara yang menenangkan. Suara ketika ia masih kecil selalu Ia dengar. Kini kemana suara itu. Dan Ia juga lupa suara apa itu?

Merasa putus asa mengingat suara yang bisa menenangkannya, Ia lari. Ia lupa sudah waktunya pulang, bahkan Ia lupa becaknya.

Ia melewati kampung-kampung, jalan becek, sampai jalan beraspal. Ia tak menghiraukan orang-orang yang melihatnya dengan tatapan aneh. Ia tak mendengar istrinya memanggil-manggilnya. Ia tak mendengar kenalannya menyapa di jalan. Ia hanya ingin berlari dan berharap menemukan suara yang menenangkannya.
Matahari sudah kembali ke peraduannya, hawa dingin mulai merasuki tulang. Ratusan tetesan keringat tak ia hiraukan. Bajunya yang basah kuyup lebih mirip kehujanan tak membuatnya berhenti. Ia terus berlari, sampai Ia bertabrakan dengan seseorang yang memakai sarung, pakaian lengan panjang putih, berkopyah.

“Ada apa pak? Kenapa bapak berlari?” tanya pria itu

“Katakan, katakan pada saya, suara apa yang tak bisa membuat telinga saya sakit. Katakan. Katakan” Pak Sahri berteriak dan menangis.

“Tenang, Pak tenang. Bapak ini siapa? Darimana? Saya tida mengerti maksud bapak.”

“Suara apa… suara apa.. katakan pada saya” kini Pak Sahri meraung seperti anak kecil

“Gini saja pak, Bapak ikut saya ke masjid. Itu di depan ada masjid. Biar Bapak lebih tenang. Nanti Bapak cerita sama Saya jelasnya.” Ucap pria itu sambil membimbing Pak Sahri berjalan ke Arah Masjid.
Pak Sahri hanya mengikuti pria yang menggandengnya, Ia seperti orang linglung. Pria itu membimbingnya untuk mencuci kaki. Pak Sahri hanya berdiri saat pria itu memutar kran, dan memasukkan air ke mulut dan melepehnya tiga kali. Ia hanya melihat pria itu membisikkan sesuatu, dan mulai membasuhkan air ke wajahnya, tangannya, rambutnya, telinganya, kakinya. Semua diulang tiga kali. Pemandangan ini membawa Pak Sahri ke masa kecilnya, tak terasa air hangat mengalir di pipinya. Rupanya Ia sudah lupa bagaimana mensucikan diri.

Menyadari Pak Sahri hanya melihatnya, pria itu tersenyum tanpa menyruh Pak Sahri melakukan seperti yang ia lakukan. Ia menggandeng lengan Pak Sahri lagi. Pasrah. Pak Sahri mengikuti tarikan tangannya masuk ke bangunan besar. Hanya ada satu ruangan besar berwarna putih. Pak Sahri melihat sekeliling. Terlihat beberapa orang sedang duduk dan menenggelamkan wajahnya. Ada lagi yang membawa seperti buku den bibirnya bergerak-gerak. Apa yang mereka lakukan disini?

“Tunggu di sini sebentar Pak, sudah masuk waktunya maghrib. Saya adzan dulu. Bapak duduk saja di sini” pria itu membimbingnya duduk

Pak Sahri duduk dan mengikuti pria itu dalam pandangannya. Ia tak mendengar apa-apa di sini, walau ia melihat banyak bibir yang bergerak. Ia melihat pria itu memegang mikrofon dan memejamkan mata. Tangan kirinya menutup telinga kirinya. Pak Sahri bertanya-tanya. Apa yang Ia lakukan?

Pak Sahri hanya duduk di belakang sampai satu persatu orang-orang meninggalkan tempat putih itu.

Pria tadi yang membimbingnya menghampiri,

“Apa yang Kau lakukan tadi sambil memegang mikrofon?” pak sahri bertanya begitu pria duduk di depannya.

“Oooh, tadi saya adzan Pak. Adzan maghrib. Panggilan sholat, Pak”

“Apa Kau tadi bersuara?”

Pria itu bingung dengan pertanyaan Pak Sahri.

“Tentu saja pak, saya tadi sampai ngotot loh” pria itu mencoba mencairkan suasana

“Tapi Saya tidak mendengar apa-apa”

Pria itu terkejut, bagaimana bisa?

“Ya adzan katamu, Saya kira sudah tak ada ada Adzan di dunia ini. Tak pernah sekalipun Saya mendengar adzan selain masa lalu Saya.”

Kini Pak Sahri menggigil, merasakan ketakutan luar biasa. Mungkinkah telinganya tertutup untuk suara yang mungkin bisa menenangkannya itu.

Pria itu hanya memandang bingung pada Pak Sahri yang memeluk kakinya, menangis dan menggigil dalam ketakutan.

Sementara angin di luar masjid mendesir, menggoyangkan daun bergemerisik.











Iba Islamia
fb : Iba Islamia

Share this article :

Post a Comment

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. FLP PASURUAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger