FLP Pasuruan (Berbakti, Berkarya, Berarti)

SEKOLAH LANGIT

Thursday, April 10, 20140 comments

SEKOLAH LANGIT

oleh : Kaffatun Nisa’

http://manado.tribunnews.com/foto/bank/images/Ilustrasi-Pelajar.jpg

            Suara itu kembali terdengar diantara gesekan rumput–rumput ilalang. Sayup-sayup memang. Suara bocah-bocah kecil yang sedang belajar. Suara parau dan sumbang berbaur menjadi satu, layaknya irama sebuah lagu. Tapi yang paling menonjol diantara suara–suara tersebut adalah suara sopran milik Meylina. Gadis itu tepat berada diantara puluhan anak berbaju kumal yang tengah duduk melingkar di teras sebuah bangunan tua yang terletak di pinggiran kota. Ia tersenyum, menambah kecantikan alami yang ia miliki. Satu kata yang pantas untuk melukiskan sosoknya. Bersahaja.
            Tak ada pengajar lain di sana, hanya dia seorang diri. Iapun harus rela bekerja ekstra. Bagaimana tidak? Sekolah ini memiliki sekitar 40 siswa dengan kelas yang berbeda-beda. Proses pembelajarannya menjadi satu. Kelas rangkap istilahnya.
            “Nduk, kamu itu sarjana. Masak mau ndak kerja? Pengangguran?”Kata-kata ayahnya saat itu masih ia ingat jelas.
            “Pak, Mey bukannya ndak bekerja. Hanya ndak dibayar awalnya saja,” jawab Mey kala itu.
            “Lha, apa gunanya toh bapak menyekolahkanmu jauh-jauh kalau begitu? Apa gunanya kamu jadi mahasiswi terbaik kalau pada akhirnya kamu ndak kerja? Ndak bayaran juga.”
            “Pak, bekerja itu ndak selalu dinilai dengan gaji atau upah. Lagipula ini juga sementara kok pak. Setelah sekolah ini berkembang dan diakui, Pemerintah pasti akan memberi perhatian. Kalaupun tidak, Mey akan tetap mendirikannya Pak. Mey ingin mendirikan sekolah yang benar Pak,yang ndak sama dengan sekolah–sekolah pada umumnya. Sekolah yang tidak terfokus pada angka-angka sebagai acuan keberhasilannya.”
            “Piye to nduk-nduk bahasamu? Ora ngerti.” Meylina paham, ia harus lebih perlahan menjelaskannya pada Bapak.
            “Mey ndak mau bekerja mengatasnamakan pendidikan, tapi nyatanya ndak demikian Pak. Ini pembodohan namanya.”
            “Alah nduk-nduk. Kamu ini terlalu ideologis. Sulit Nduk. Lha wong dari atasnya yo wis kaya ngene. mboh wes karepmu” Si bapak langsung berdiri dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Mey seorang diri.
Keputusan Mey untuk berhenti kerja harus benar-benar ia pertanggung jawabkan. Terlebih-lebih pada Bapaknya yang ingin sekali anak satu-satunya sukses.Ya Rabb,apakah aku salah? Pikir Mey dalam hati. Dalam diamnya Mey berdoa semoga kelak bapaknya mengerti. Mengerti akan keinginannya. Sungguh ia tak ingin menjadi durhaka.
            Meylina Diyanti. Ia terlahir dengan anugerah kecerdasan. Sejak kecil prestasinya sangat menonjol. Segudang prestasi ia raih. Tak heran keluarga berusaha agar Mey bisa meneruskan studinya. S1 ia tempuh dengan mudah, ditambah dengan gelar mahasiswi terbaik Universitas Negeri  di kawasan Jakarta. Lengkap sudah. Cantik, sholehah, dan cerdas tentunya. Siapa yang tak suka? Banyak sekali sekolah-sekolah yang menawarinya untuk bekerja, tapi pilihan jatuh pada sebuah sekolah menengah pertama di kota kelahirannya. Mey beralasan bahwa ia ingin memajukan pendidikan di kotanya sendiri.
            Pada awalnya semua berjalan lancar. Meylina mengajar dengan penuh antusias. Ia berusaha untuk menjadikan siswa didiknya tumbuh menjadi sosok yang cerdas. Setiap harinya ia gunakan untuk mempelajari cara termudah untuk memberi pemahaman pada mereka. Mey ingin menjadikan mereka tunas bangsa yang merekah. Cita – cita itu ia gantung setinggi-tingginya. Sampai sebuah peristiwa terjadi.
            Saat itu ia dipanggil oleh kepala Sekolah tempat ia bekerja. Tidak seperti biasa. Ada apa sebenarnya? Pikir Meylina.
            “Bu Meylina, silahkan duduk Bu!” Mey duduk.
“Begini bu. Tadi pagi saya sedang mengadakan supervisi. Saya sedang memeriksa prestasi murid-murid, termasuk murid ibu. Kenapa saya lihat masih ada nilai 5 di raport mereka?”tanya kepala sekolah waktu itu. Mey ingat, memang beberapa murid Mey mendapatkan nilai lima untuk mata pelajaran tertentu. Tapi Mey merasa nilai itu sudah  sesuai dengan kemampuan mereka.
            “Maaf bu, itu memang kesalahan saya. Saya akan berusah lebih keras lagi. Saya mohon bimbingan karena saya masih baru di sini.” Mey tahu bahwa ia masih harus banyak belajar bagaimana cara menjadi pendidik yang benar.
            “Saya tahu bu Mey. Anda sudah berusaha semaksimal mungkin. Secara ilmu, guru-guru di sini  masih jauh tertinggal dari anda. Anda hebat, tapi bukan itu yang saya maksud.” Mey tidak mengerti arah pembicaraan Kepala Sekolahnya.
            “Sekolah kita meski terbilang kecil, tetapi memiliki nama di kota ini. Telah banyak siswi-siswi kita yang meraih prestasi ditingkat Kabupaten ataupun Provinsi. Sekolah-sekolah lainpun mengakui hal itu.”
            Mey mengernyitkan alisnya. Ia semakin tak mengerti.
            “Tak ada salahnya anda memberi nilai lebih pada anak-anak itu. Lagipula tak akan ada yang merasa dirugikan.”Inilah titik pangkal permasalahannya. Ia mengerti sekarang.
            “Maaf bu, Tapi saya rasa nilai itu sudah adil bagi mereka. Saya sudah berusaha. Remidi sudah saya lakukan, tapi hasilnya nihil. Saya masih berusaha untuk memperbaikinya.”
            “Tidak akan ada yang tau bu. Bantulah anak-anak sedikit saja. Anda tidak salah”
            “Sekali lagi maaf bu. Saya hanya ingin bersikap adil. Adil pada diri saya sendiri dan pada mereka”
            Kepala sekolah sedikit terkejut mendengar jawaban yang keluar dari Meylina. Tapi ia tidak ingin melanjutkannya lagi. Memang begitu nampak ideologi yang dibawa oleh Meylina. Ia tak ingin sedikitpun terkontaminasi. Setelah kejadian itu keputusan besar telah diambil Mey. Ia keluar kerja dan inilah yang membuat bapaknya marah.
            Paradigma Meylina tentang dunia pendidikanpun berubah. Ia sudah tidak lagi mempercayai arti dari sebuah nilai yang tertera di Ijazah. Penipuan semata. Mungkin memang tidak semua. Tapi kebanyakan. Nilai baginya adalah hasil perjuangan, bukan asal tulis dan hapus.  Tapi nyatanya sekarang ia sadar bahwa dunia ini bukan hanya dihuni dirinya sendiri. Begitu banyak manusia dengan isi otak yang berbeda. Masih banyak manusia dengan segala ambisinya yang menghalalkan bermacam cara, begitu pula dalam dunia pendidikan. Ia ingin berontak. Tapi bagaimana? Ia ingin marah. Tapi pada siapa?
            Apakah akan seperti ini terus dunia pendidikan kita? Meylina goyah.
            “Bu Mey.” Suara Tantri menyadarkan Meylina dari lamunannya. Ia sadar sekarang ia disini. Sekolah langit. Ia sadar bahwa ia harus memberi pelajaran tambahan pada Tantri, salah satu muridnya yang esok akan melaksanakan Lomba MIPA tingkat Provinsi.
            “Tantri takut Bu.”
            “Kenapa takut Nak? Sama saja seperti lomba di tingkat Kabupaten kemarin. Asal kamu berusaha, pasti bisa.”Mey tersenyum.”Bukankah sekolah kita adalah sekolah langit? Bukankah ibu selalu bilang untuk mengantungkan cita-citamu setinggi-tingginya. Biarkan langit itu tetap biru tanpa polusi. Jangan biarkan impianmu jatuh ke bumi. Bawa ia semakin tinggi. Mengerti kan Nak?” Mey berusaha memberi semangat pada Tantri.
            Tantri tersenyum. Dipeluknya guru kesayangannya itu.
            Selepas mengajari Tantri, meylina bersiap-siap pulang. Di depan Pintu kelasnya tiba-tiba Mey berhenti. Sosok itu ada dihadapannya. Sosok yang begitu ia kenal.
            “Bapak” Panggil Mey
            Saat yang Mey tunggu akhirnya datang. Delapan bulan sudah Mey pergi dari rumah. Bukan untuk kabur, tapi untuk sekedar membuktikan pada bapaknya bahwa ia bisa mewujudkan cita-citanya membangun sebuah sekolah. Dan akhirnya saat ini sang Bapak yang dulu begitu tidak mempercayainya datang dan meminta maaf. Do’a Mey menjadi nyata. Ia benar-benar bersyukur dan berharap ribuan do’a yang ia panjatkan bersama murid-muridnya di sekolah Langit juga akan menjadi sebuah kenyataan.
            “Kamu mau neruskan dimana to Le? Jangan jauh – jauh Le. Ibu sudah tua!” pinta wanita tua itu pada anak laki-lakinya.
            “Mboten kok Bu. Di dekat sini aja”
            “Universitas apa Le?”
            “Universitas Langit Bu.”Si ibu tua tiba-tiba teringat masa lalunya. Sekolah langit.
            “Baru to Le?”
            “Iya Bu. Seorang Sarjana lulusan Universitas Al-Azhar yang mendirikannya. Kalau ndak salah namanya Hj Khoiriyah Tantri,” jelas si anak.
            Khoiriyah Tantri. Si ibu kenal betul nama itu. Ia salah satu muridnya dulu. Ternyata Tantri benar-benar menepati janjinya untuk membanggakan si ibu tua yang tak lain adalah Meylina. Sekolah Langit. Mey yakin akan ada yang meneruskannya. Manusia-manusia bijak yang isi otaknya tidak tercemar hanya karena angka dan ambisi semata, seperti ia dan Tantri.











Foot Note
-          Nduk = Nak
-          Lha wong dari atasnya yo wis kaya ngene = lha dari sananya memang sudah seperti ini
-          Mboh wes, karepmu = sudahlah terserah kamu
-          Piye to nduk bahasamu? Ora ngerti = gimana sih nak bahasamu? Tidak mengerti
-          Mboten kok Bu = Tidak kok Bu







Share this article :

Post a Comment

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. FLP PASURUAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger