SEKOLAH
LANGIT
oleh : Kaffatun
Nisa’
Suara itu kembali terdengar diantara
gesekan rumput–rumput ilalang. Sayup-sayup memang. Suara bocah-bocah kecil yang
sedang belajar. Suara parau dan sumbang berbaur menjadi satu, layaknya irama
sebuah lagu. Tapi yang paling menonjol diantara suara–suara tersebut adalah
suara sopran milik Meylina. Gadis itu tepat berada diantara puluhan anak berbaju
kumal yang tengah duduk melingkar di teras sebuah bangunan tua yang terletak di
pinggiran kota. Ia tersenyum, menambah kecantikan alami yang ia miliki. Satu
kata yang pantas untuk melukiskan sosoknya. Bersahaja.
Tak ada pengajar lain di sana, hanya
dia seorang diri. Iapun harus rela bekerja ekstra. Bagaimana tidak? Sekolah ini
memiliki sekitar 40 siswa dengan kelas yang berbeda-beda. Proses
pembelajarannya menjadi satu. Kelas rangkap istilahnya.
“Nduk,
kamu itu sarjana. Masak mau ndak kerja? Pengangguran?”Kata-kata ayahnya saat
itu masih ia ingat jelas.
“Pak, Mey bukannya ndak bekerja.
Hanya ndak dibayar awalnya saja,” jawab Mey kala itu.
“Lha, apa gunanya toh bapak
menyekolahkanmu jauh-jauh kalau begitu? Apa gunanya kamu jadi mahasiswi terbaik
kalau pada akhirnya kamu ndak kerja? Ndak bayaran juga.”
“Pak, bekerja itu ndak selalu
dinilai dengan gaji atau upah. Lagipula ini juga sementara kok pak. Setelah
sekolah ini berkembang dan diakui, Pemerintah pasti akan memberi perhatian.
Kalaupun tidak, Mey akan tetap mendirikannya Pak. Mey ingin mendirikan sekolah
yang benar Pak,yang ndak sama dengan sekolah–sekolah pada umumnya. Sekolah yang
tidak terfokus pada angka-angka sebagai acuan keberhasilannya.”
“Piye
to nduk-nduk bahasamu? Ora ngerti.” Meylina paham, ia harus lebih perlahan
menjelaskannya pada Bapak.
“Mey ndak mau bekerja
mengatasnamakan pendidikan, tapi nyatanya ndak demikian Pak. Ini pembodohan namanya.”
“Alah nduk-nduk. Kamu ini terlalu
ideologis. Sulit Nduk. Lha wong dari
atasnya yo wis kaya ngene. mboh wes
karepmu” Si bapak langsung berdiri
dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Mey seorang diri.
Keputusan Mey untuk berhenti kerja harus
benar-benar ia pertanggung jawabkan. Terlebih-lebih pada Bapaknya yang ingin
sekali anak satu-satunya sukses.Ya Rabb,apakah aku salah? Pikir Mey dalam hati.
Dalam diamnya Mey berdoa semoga kelak bapaknya mengerti. Mengerti akan keinginannya.
Sungguh ia tak ingin menjadi durhaka.
Meylina Diyanti. Ia terlahir dengan
anugerah kecerdasan. Sejak kecil prestasinya sangat menonjol. Segudang prestasi
ia raih. Tak heran keluarga berusaha agar Mey bisa meneruskan studinya. S1 ia tempuh
dengan mudah, ditambah dengan gelar mahasiswi terbaik Universitas Negeri di kawasan Jakarta. Lengkap sudah. Cantik,
sholehah, dan cerdas tentunya. Siapa yang tak suka? Banyak sekali
sekolah-sekolah yang menawarinya untuk bekerja, tapi pilihan jatuh pada sebuah
sekolah menengah pertama di kota kelahirannya. Mey beralasan bahwa ia ingin
memajukan pendidikan di kotanya sendiri.
Pada awalnya semua berjalan lancar. Meylina
mengajar dengan penuh antusias. Ia berusaha untuk menjadikan siswa didiknya
tumbuh menjadi sosok yang cerdas. Setiap harinya ia gunakan untuk mempelajari
cara termudah untuk memberi pemahaman pada mereka. Mey ingin menjadikan mereka tunas
bangsa yang merekah. Cita – cita itu ia gantung setinggi-tingginya. Sampai
sebuah peristiwa terjadi.
Saat itu ia dipanggil oleh kepala
Sekolah tempat ia bekerja. Tidak seperti biasa. Ada apa sebenarnya? Pikir
Meylina.
“Bu Meylina, silahkan duduk Bu!” Mey
duduk.
“Begini bu. Tadi pagi saya sedang
mengadakan supervisi. Saya sedang memeriksa prestasi murid-murid, termasuk
murid ibu. Kenapa saya lihat masih ada nilai 5 di raport mereka?”tanya kepala
sekolah waktu itu. Mey ingat, memang beberapa murid Mey mendapatkan nilai lima
untuk mata pelajaran tertentu. Tapi Mey merasa nilai itu sudah sesuai dengan kemampuan mereka.
“Maaf bu, itu memang kesalahan saya.
Saya akan berusah lebih keras lagi. Saya mohon bimbingan karena saya masih baru
di sini.” Mey tahu bahwa ia masih harus banyak belajar bagaimana cara menjadi
pendidik yang benar.
“Saya tahu bu Mey. Anda sudah berusaha
semaksimal mungkin. Secara ilmu, guru-guru di sini masih jauh tertinggal dari anda. Anda hebat, tapi
bukan itu yang saya maksud.” Mey tidak mengerti arah pembicaraan Kepala
Sekolahnya.
“Sekolah kita meski terbilang kecil,
tetapi memiliki nama di kota ini. Telah banyak siswi-siswi kita yang meraih
prestasi ditingkat Kabupaten ataupun Provinsi. Sekolah-sekolah lainpun mengakui
hal itu.”
Mey mengernyitkan alisnya. Ia
semakin tak mengerti.
“Tak ada salahnya anda memberi nilai
lebih pada anak-anak itu. Lagipula tak akan ada yang merasa dirugikan.”Inilah
titik pangkal permasalahannya. Ia mengerti sekarang.
“Maaf bu, Tapi saya rasa nilai itu
sudah adil bagi mereka. Saya sudah berusaha. Remidi sudah saya lakukan, tapi
hasilnya nihil. Saya masih berusaha untuk memperbaikinya.”
“Tidak akan ada yang tau bu. Bantulah
anak-anak sedikit saja. Anda tidak salah”
“Sekali lagi maaf bu. Saya hanya
ingin bersikap adil. Adil pada diri saya sendiri dan pada mereka”
Kepala sekolah sedikit terkejut
mendengar jawaban yang keluar dari Meylina. Tapi ia tidak ingin melanjutkannya
lagi. Memang begitu nampak ideologi yang dibawa oleh Meylina. Ia tak ingin
sedikitpun terkontaminasi. Setelah kejadian itu keputusan besar telah diambil
Mey. Ia keluar kerja dan inilah yang membuat bapaknya marah.
Paradigma Meylina tentang dunia
pendidikanpun berubah. Ia sudah tidak lagi mempercayai arti dari sebuah nilai
yang tertera di Ijazah. Penipuan semata. Mungkin memang tidak semua. Tapi kebanyakan. Nilai baginya adalah hasil
perjuangan, bukan asal tulis dan hapus.
Tapi nyatanya sekarang ia sadar bahwa dunia ini bukan hanya dihuni
dirinya sendiri. Begitu banyak manusia dengan isi otak yang berbeda. Masih
banyak manusia dengan segala ambisinya yang menghalalkan bermacam cara, begitu
pula dalam dunia pendidikan. Ia ingin berontak. Tapi bagaimana? Ia ingin marah.
Tapi pada siapa?
Apakah akan seperti ini terus dunia
pendidikan kita? Meylina goyah.
“Bu Mey.” Suara Tantri menyadarkan
Meylina dari lamunannya. Ia sadar sekarang ia disini. Sekolah langit. Ia sadar
bahwa ia harus memberi pelajaran tambahan pada Tantri, salah satu muridnya yang
esok akan melaksanakan Lomba MIPA tingkat Provinsi.
“Tantri takut Bu.”
“Kenapa takut Nak? Sama saja seperti
lomba di tingkat Kabupaten kemarin. Asal kamu berusaha, pasti bisa.”Mey
tersenyum.”Bukankah sekolah kita adalah sekolah langit? Bukankah ibu selalu
bilang untuk mengantungkan cita-citamu setinggi-tingginya. Biarkan langit itu
tetap biru tanpa polusi. Jangan biarkan impianmu jatuh ke bumi. Bawa ia semakin
tinggi. Mengerti kan Nak?” Mey berusaha memberi semangat pada Tantri.
Tantri tersenyum. Dipeluknya guru
kesayangannya itu.
Selepas mengajari Tantri, meylina
bersiap-siap pulang. Di depan Pintu kelasnya tiba-tiba Mey berhenti. Sosok itu
ada dihadapannya. Sosok yang begitu ia kenal.
“Bapak” Panggil Mey
Saat
yang Mey tunggu akhirnya datang. Delapan bulan sudah Mey pergi dari rumah.
Bukan untuk kabur, tapi untuk sekedar membuktikan pada bapaknya bahwa ia bisa
mewujudkan cita-citanya membangun sebuah sekolah. Dan akhirnya saat ini sang
Bapak yang dulu begitu tidak mempercayainya datang dan meminta maaf. Do’a Mey
menjadi nyata. Ia benar-benar bersyukur dan berharap ribuan do’a yang ia
panjatkan bersama murid-muridnya di sekolah Langit juga akan menjadi sebuah
kenyataan.
“Kamu mau neruskan dimana to Le?
Jangan jauh – jauh Le. Ibu sudah tua!” pinta wanita tua itu pada anak
laki-lakinya.
“Mboten
kok Bu. Di dekat sini aja”
“Universitas apa Le?”
“Universitas Langit Bu.”Si ibu tua
tiba-tiba teringat masa lalunya. Sekolah langit.
“Baru to Le?”
“Iya Bu. Seorang Sarjana lulusan
Universitas Al-Azhar yang mendirikannya. Kalau ndak salah namanya Hj Khoiriyah
Tantri,” jelas si anak.
Khoiriyah Tantri. Si ibu kenal betul
nama itu. Ia salah satu muridnya dulu. Ternyata Tantri benar-benar menepati
janjinya untuk membanggakan si ibu tua yang tak lain adalah Meylina. Sekolah Langit.
Mey yakin akan ada yang meneruskannya. Manusia-manusia bijak yang isi otaknya
tidak tercemar hanya karena angka dan ambisi semata, seperti ia dan Tantri.
Foot
Note
-
Nduk = Nak
-
Lha wong dari atasnya yo wis kaya ngene
= lha dari sananya memang sudah seperti ini
-
Mboh wes, karepmu = sudahlah terserah
kamu
-
Piye to nduk bahasamu? Ora ngerti =
gimana sih nak bahasamu? Tidak mengerti
-
Mboten kok Bu = Tidak kok Bu
Post a Comment